Masih banyak diluar sana yang berpendapat
bahwa jika seorang wanita memutuskan untuk hanya menjadi seorang ibu rumah
tangga maka tidak perlu bagi nya memiliki gelar pendidikan yang tinggi. Bahkan
ada pula yang berpendapat kalau sudah punya gelar sarjana misalnya, maka akan
sangat disayangkan kalau “ujung-ujungnya” hanya kerja dirumah mengurus
keluarga.
Stigma/pemikiran itu sebenarnya tidak
sepenuhnya salah. Hanya saja masih perlu diluruskan untuk bisa lebih menghargai
pilihan masing-masing. Hidup adalah sebuah pilihan bukan?dan apa yang akan
terjadi kedepan adalah selalu sebuah misteri.
Saya adalah lulusan sarjana Psikologi, dari
Universitas swasta yang cukup dikenal di Jakarta. Dan pun sempat sekolah bahasa
(walaupun hanya beberapa bulan) di Manchester, Inggris. Saya bangga dan
bersyukur bisa berkesempatan pada waktu itu untuk menjalani apa yang saya mau.
Memiliki orang tua yang sangat mendukung keinginan anaknya untuk belajar dan
sekolah, serta dukungan materi pun yang seperti selalu tersedia untuk saya,
memenuhi apa yang saya mau.
Waktu berjalan sampai akhirnya selesai lah
semua program pendidikan yang saya mau. Tapi takdir siapa yang tau. Selesai
saya sekolah di Inggris, yang ketika itu masih menjadi pacar saya, sudah
menunggu kepulangan saya di tanah air dan langsung meminta saya untuk menjadi
istrinya. Singkat cerita, kami menikah, saya lantas menjadi istri dan kemudian
langsung dipercaya oleh Allah untuk menjadi seorang ibu.
Lalu pertanyaannya. Buat apa lantas gelar dan
bekal pendidikan yang saya punya?? Saya pun begitu punya anak, ya saya urus
anak saya sendiri. 24 hours, 7 days a
week, 30 days a month. Tanpa diminta oleh suami, oleh siapapun, saya telah
menjadi a full time mother yang “kantor” nya ya dirumah. Saya bersyukur punya suami yang tidak dengan
egosinya meminta saya untuk hanya dirumah saja. Tidak pernah menuntut saya
untuk hanya diam mengurus anak dan suami, tanpa dikasih kesempatan untuk
melihat lagi dunia luar. Pun tidak menuntut saya untuk ikut mencari nafkah demi
kelangsungan keluarga kecil kami, membantu suami yang kala itu pun masih meniti
karir nya. Dengan kesadaran saya sendiri, saya tahu peran saya adalah dirumah
mengurus keluarga, mengurus anak dan menanti suami dirumah yang pergi kerja pagi
hari dan pulang kerja malam harinya.
Tetapi kemudian ada suatu waktu ketika saya
totally tidak melakukan apapun dalam keseharian. Hanya menjadi ibu rumah tangga
yang ikut dalam organisasi (itupun tidak selalu ada agenda nya), dan tidak
berbisnis apa2 seperti sebelumnya. Jenuh jelas. Bosan ya jangan ditanya.
Apalagi tinggal di negara orang yang tidak sebebas di negara sendiri. Tapi
bukan itu persoalannya.
Yang bikin hati terusik adalah ketika
mendengar perkataan, atau membaca sesuatu di media sosial misalnya, yang
mengatakan bahwa betapa ruginya pendidikan tinggi tapi pada akhirnya hanya
dirumah, ngurusin kerjaan rumah dan urus suami dan anak. Apa bedanya sama
asisten rumah tangga???
At first, it
broke my heart. I will never accept those kind of statement towards me. Tapi sekarang saya justru punya jawabannya.
Bukan lantas jadi sedih dan membenarkan apa yang ada dipikiran mereka. Kali
ini, saya justru bangga dengan diri saya sendiri. Saya memang seorang ibu rumah
tangga. Yess full time!. Saya yang mengurus
anak sendiri, especially when her daddy is at work, of course. Tapi coba saya
kembali bertanya. Apakah kemudian ada rasa bangga, kalau sebagai ibu yang hanya
mengurus anak tapi dibelakang namanya terselip gelar yang tidak semua orang
juga bisa punya?
Mengurus anak jelas beda dengan mengurus
rumah. Rumah dan isinya adalah benda mati. Sedangkan anak adalah manusia,
makhluk yang hidup dan berkembang. Butuh ilmu, butuh pengetahuan, butuh untuk
terus belajar dalam mengurusnya dan membesarkannya. Ilmu yang didapat di masa
lalu tidak akan pernah sia-sia. Semua pasti akan ada manfaat nya, kapan pun,
dimanapun. Tinggal bagaimana kita yang telah dibekali tahu bagaimana cara
menggunakannya, memanfaatkannya dan menerapkannya dalam mendidik si anak manusia
tadi.
Saya yakin, ilmu yang saya dapat dulu akan
sangat berguna dalam mendidik anak saya. Akan sangat berguna dalam saya
menghadapi karakter dan perilakuknya, yang terkadang adalah merupakan hal yang
mengejutkan bagi saya. Saya harus siap menghadapinya. Disini lah ilmu yang saya
dapat kemudian menjadi bermanfaat. Pun ini menjadi kesempatan saya untuk bisa
belajar kembali, karena tidak jarang saya kemudian membuka diktat kuliah dulu,
atau kalau mau praktis kemudian saya browsing di internet bagaimana menghadapi
perilaku seorang anak yang terus berubah mengikuti perkembangan usianya.
Saya bangga dengan posisi sekarang. Saya
adalah ibu rumah tangga dengan 1 anak yang usianya 4 tahun. Saya ibu rumah
tangga dengan gelar sarjana dibelakang nama saya. Tidak pernah saya merasa rugi
atau merasa bersalah dengan orang tua saya yang sudah menyekolahkan saya but
end up to be just being a mother and stay home. Justru saya akan membuat bangga
anak saya karena punya seorang ibu yang sempat merasakan sekolah dengan
pendidikan tinggi.
Tidak bermaksud mengucilkan atau menganggap
rendah para ibu yang tidak sempat bersekolah tinggi. Balik lagi itu adalah
pilihan dan saya pun tidak berniat dan tidak akan menganggap itu adalah hal
yang kecil. Menjadi seorang ibu itu adalah hal yang hebat. Tidak ada perjuangan
seorang ibu adalah sia-sia. Tulisan ini hanya ungkapan saya ketika saya pernah
merasa sedih karena dianggap pendidikan yang saya raih adalaha sia-sia dengan
hanya menjadi seorang ibu rumah tangga.
To all mothers out there.. whoever you are, I
know you will be the best mother for your children in every way…
Salam,
Riri Rizni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar